Perubahan mendasar dan totalitas berdasarkan Al Quran & Sunnah

Dapur Inpirasi 1924

= Lukisan Kehidupan =

ditulis oleh: Bang OriSang Pujangga Revolusi (Hak Cipta Milik Allah Swt) silahkan dicopy dengan mencantumkan nama penulis ^_^

LUKISAN KEHIDUPAN

Jika boleh diibaratkan…
maka umur adalah ibarat lembaran kehidupan,
setiap lembaran baru, dihiasi dengan warna warni
itulah warna warni kehidupan, dan…
setiap warna telah ditentukan.

kita tidak dapat merubahnya…
namun kita dapat melukis diatasnya dengan indah,
kita berharap…
itulah LUKISAN KEHIDUPAN.

tiap tahunnya…
lembaran putih itu menjadi lukisan yang beraneka ragam.

jika kita mampu melihat,
maka sudah berapa banyak lukisan yang terpajang dalam kehidupan,

setiap sudut terlihat tidak rata,
kita malah menyebutnya itu “MASALAH”
namun…
kita juga bisa katakan “disitulah SENINYA”,
maka orang bijakan bilang:
itulah ” SENI HIDUP “.

dan disini…
dilembaran baru ini…
semua berdoa akan hadirnya lukisan kehidupan yang menginspirasi banyak orang.

semoga Allah Swt memberkahi setiap langkah dan ayunan tangan kita semua dalam melukis lembaran kehidupan yang baru ini.

BarakaLLahu lanaa ^_^

###syair ini didedikasikan untuk semua adik-adik yang mengawali lembaran baru dalam hidupnya (yang sedang Memuhasabah Ulang Tahunnya) dan pada tanggal 19 June 2012 syair ini tercipta.

Rasulullah Saw bersabda: “Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Kuraib dari Zaid bin Habbab dari Muawiyah bin Shalih dari Amr bin Qais dari Abdullah bin Busr Al-Aslami Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya ada seorang Badui bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang terbaik?” Beliau bersabda,

مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ .

“Orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.” (HR. At-Tirmidzi)


AWAS “GEMPA” PACARAN

Assalamualaikum Sahabat ^_^,

taukah anda, bahwa Pacaran itu tabiat jahiliyah,

PACARAN bikin Manusia jadi ternoda,

PACARAN bikin Manusia jadi mantan (red- Bekas),

PACARAN bikin Manusia jadi-jadian,

SELAMATKAN GENERASI dari Perbuatan Tercela PACARAN.

eits… Cinta dan Mencintai adalah fitrah manusia, namun bukan via PACARAN.

Menikah adalah lebih baik, jika tak s…anggup, perbanyak PUASA ^_^

“Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba’ah (Yang mampu menikah dengan berbagai persiapannya) hendaklah menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, hendaklah puasa karena puasa merupakan wijaa’ (pemutus syahwat) baginya” Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas’ud

penjelasan lebih lanjut:

tafsiran dari sajak dan kampanye diatas,

Manusia jadi ternoda karena Pacaran, karena aktivitas Pacaran penuh dengan intrik dan tipudaya syetan.

Manusia jadi mantan, karena tidak sedikit pelaku pacaran putus ditengah jalan kemudian bilang sana…… sini, “Ooo… itu mantan gue”, atau “mmm… itukan mantannya si itu”.. na`uzubillah.

nah Manusia jadi-jadian (out of control), banyak kasus buah dari aktivitas Pacaran hamil diluar nikah s/d aborsi, na`uzubillahi min dzalik.

“Sesungguhnya kaum muslimin dan muslimat, kaum mukminin dan mukminat, kaum pria yang patuh dan kaum wanita yang patuh, dan kaum pria serta wanita yang benar (imannya) dan kaum pria serta kaum wanita yang sabar (ketaatannya), dan kaum pria serta wanita yang khusyu’, dan kaum pria serta wanita yang bersedekah, dan kaum pria serta wanita yan berpuasa, dan kaum pria dan wanita yang menjaga kehormatannya (syahwat birahinya), dan kaum pria serta wanita yang banyak mengingat Allah, Allah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar” (Qs.Al Ahzab: 35)

“jika mereka berpaling Maka Katakanlah: “Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Aad dan Tsamud”. (QS. Fushilat, 41: 13).

Secarik Pesan antar sesama Sahabat,

Bukan Sekedar mengingatkan, bukan pula sok taat

karena hari ini kita bukan sekdar sahabat ^_^

marilah Sobat, jaga Iman, patuhi dan Ingat

sabda Rasulullah Saw:

“Hendaknya seorang pria tidak berduaan dengan seorang wanita, kecuali bersamanya seorang mahram (HR Muslim).”

Scriptwriter by:  Sang Pujangga Revolusi on the moment Gempa Sumatera 11 APRIL 2012


#bukan sebuah alur cerita yang penuh retorika belaka#

 

 

 

 

 

 

 

Membunuh kembali Keangkuhan dan Kesombongan,

Menyelamatkan kembali kemuliaan yang tertawan akan berbagai keraguan, kebohongan, dan kemunafikan.
hinggaaaaa….

dapat kembali ke jalan pulang dengan sejuta jawaban,

tanpa mengharap secercah belas kasihan,

karena itu dapat merusak KeIKHLASan.
(Sang Pujangga Revolusi, pada BAB terakhir 2011)


Menunda Kebaikan

Setiap jiwa akan sangat paham, bahwa kebaikan adalah modal utama menuju sebuah kenikmatan hidup. Dengannya kita memperoleh kedamaian duniawi dan terjauh dari kegalauan hari. Kebaikan juga menumbuhkan harapan yang berarti menambah rasa betah hidup didunia walaupun kadang kala keadaan tak selalunya enak. Tapi bagi sebagian orang, kepahaman itu tak sejalan dengan perealisasian dari sikap mereka. Tuntutan kebaikan yang ingin didapatkannya, tidak diwujudkan kecuali hanya dengan sedikit sikap. Beberapa contoh dibawah ini adalah sikap yang sering kali akrab atau kita akrabi yang sayangnya Hal inilah yang akhirnya menghambat jalan kebaikan itu untuk cepat mendatangi dan memulyakan kita.

Malas berarti menunda percepatan sukses atas keberhasilan hidup kita. Seperti halnya sebuah kesuksesan yang butuh sebuah proses, pengkreasian sebuah kegagalan pun membutuhkan proses. Dan proses tercepat untuk mencapainya adalah dengan berlaku malas. Tanpa usaha apapun, dengan malas orang sudah cukup dinilai sebagai lemah. Dengan malas, orang sudah cukup berusaha maksimal untuk merendahkan diri mereka sendiri dihadapan orang lain dan pada jiwa mereka sendiri.

Marah adalah menunda proses kelembutan melingkupi hati dan jiwa kita. Marah menjauhkan rahmat kasih sayang sesama atas kita. apakah marah itu dilarang? Rasa marah itu tidak bisa dihapus dari seorang manusia, karena Allah yang mengilhamkannya kepada kita. Tapi kemudian Yang tidak disukai oleh Allah adalah ketika kita memutuskan bahwa rasa marah itu kemudian yang mengkerdilkan hidup dan kualitas diri kita dan orang lain disekitar kita. Hal itu dengan kata lain adalah semakin merentangkan jarak kita dengan buah kesuksesan.

Ketidaksabaran menunda perbaikan diri dan masa depan kita. Banyak orang merasa telah berdoa tapi banyak diantara mereka juga memaki tuhan atas ketidaksabaran tentang terealisasinya doa tersebut. Padahal mereka tidak sadar, secara tidak langsung, tingkah polah mereka telah membatalkan rahmat dari sebuah doa yang telah terpanjat. Ketidaksabaran adalah downpaymen dari sebuah kegagalan. Betapapun seseorang menganggunkan dirinya tentang tingkah laku dan masa depannya, namun jika dia tidak mendidik diri untuk sabar, maka akan sia- sialah semua usaha, karena kekacauan pasti tidak pernah absen dari dirinya.

Tidak damai menjauhkan kita dari kesyukuran hidup. Orang yang senantiasa meliarkan batinnya dan atau membiarkan batinnya begitu liar dan terus terinspirasi dengan sebuah kekurangan, lambat laun dia akan menghentikan kecepatan dirinya untuk tumbuh menjadi lebih baik. Damainya jiwa adalah kekayaan kita yang pertama. Jiwa yang damai adalah kekayaan yang utuh,
yang menjadi sandaran bagi semua kekayaan. Kedamaian jiwa menempatkan kita untuk tidak harus memenuhi semua aturan kekayaan yang dipantaskan oleh orang lain untuk diri mereka. Kedamaian jiwa menjadikan diri kita cukup untuk diri sendiri,dan apa pun yang akan dilakukan setelahnya adalah untuk kebaikan orang lain. Jika kita telah berjasa membaikkan kehidupan orang lain, maka dengan sendirinya kebaikan akan terpelihara atas kita. Maka rugilah jiwa- jiwa yang gelisah, tidak bersyukur, dan selalu merasa kurang. Hidup yang sudah sulit akan terasa lebih berat bagi siapapun pelakunya.

Kita tidak akan memiliki kepintaran yang cukup untuk mengerti apapun skenario Allah tentang masa depan dan kebaikan apa yang akan ditakdirkan untuk kita. Tapi Allah telah telah memberi kewenangan dan energi kepada para hambanya untuk berupaya mengusahakan nasib mereka sendiri demi kebaikan mereka sendiri. jika kita percaya bahwa takdir bisa dirubah dengan sebuah usaha, lalu mengapa kita tidak mengusahakan yang terbaik yang kita bisa. Hadiah dari kita melakukan kebaikan adalah kebaikan, dan Keburukan yang menjadikan kita baik adalah kebaikan. Maka tidak akan ada celah lagi bagi kita, jika kita ingin memperbaiki hidup, maka berlakulah baik, jadilah pribadi yang baik, dan kebaikan itu akan senantiasa memulyakan anda.

(Syahidah/Voa-islam.com)


Meretas Jalan Kebaikan

Kebaikan adalah apa saja yang dipandang baik oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Keburukan adalah apa saja yang dianggap buruk oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Dengan kata lain, bagi seorang Muslim, standar baik-buruk adalah syariah Islam. Karena itu, dalam Islam: iman itu baik, kufur itu buruk; taat itu baik, maksiat itu buruk; adil itu baik, fasik/zalim itu buruk; beramal shalih itu baik, beramal salah itu buruk; pemurah itu baik, kikir itu buruk; pemaaf itu baik, pendendam itu buruk; pejuang syariah dan Khilafah itu baik, penentangnya itu buruk; jihad itu baik, terorisme itu buruk. Demikian seterusnya. Tentu jika semua itu tolok-ukurnya adalah syariah Islam.

Dalam Islam, baik pelaku kebaikan ataupun keburukan tentu akan mendapatkan konsekuensi pahala atau dosa. Pelaku kebaikan akan mendapatkan pahala dan surga. Pelaku keburukan akan mendapatkan dosa dan azab neraka. Namun sesungguhnya konsekuensi bagi keduanya bisa lebih dari itu, yakni saat masing-masing menjadi ‘teladan’ atau ‘ikutan’ bagi orang lain. Seorang pelaku kebaikan akan mendapatkan dua pahala: pahala atas perbuatan baik yang ia lakukan dan pahala dari orang yang meneladani atau mengikuti jejak kebaikannya. Demikian pula pelaku keburukan. Ia pun akan mendapatkan dua dosa: dosa atas perbuatan buruk yang ia lakukan dan dosa dari orang yang ‘meneladani’ atau mengikuti jejak keburukannya. Itulah yang ditegaskan oleh Baginda Rasulullah SAW dalam sabda beliau, sebagaimana dituturkan oleh Jarir bin Abdillah (yang artinya), “Siapa saja yang meretas jalan kebaikan (sunnat[an] hasanat[an]) di dalam Islam, baginya pahala atas perbuatan baiknya itu dan pahala dari orang-orang yang mengikuti jejak kebaikannya itu tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Siapa saja yang meretas jalan keburukan (sunnat[an] sayyi’at[an]) di dalam Islam, baginya dosa atas perbuatan buruknya itu dan dosa dari orang-orang yang mengikuti jejak keburukannya itu tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.” (HR Muslim).

Maknanya, siapapun yang mempropagandakan kebaikan, baik dengan ucapan atau tindakan, termasuk dengan dukungan, lalu kebaikan  itu dilakukan oleh orang lain maka bagi dirinya dua pahala, sebagaimana dijelaskan di atas. Demikian pula hal sebaliknya (baca: dosa) bagi orang yang mempropagandakan keburukan, baik dengan ucapan atau tindakan, termasuk dengan dukungan (Lihat: Muhammad bin ‘Allan ash-Shiddiqi, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh ash-Shalihin, I/330).

Hadits Nabi SAW yang lain, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra, juga mengungkapkan maksud serupa, yakni saat beliau bersabda (yang artinya), “Siapa saja yang menunjukkan jalan kebaikan, bagi dirinya pahala yang serupa dengan pahala orang-orang yang mengikuti kebaikan itu tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Siapa saja yang menunjukkan jalan kesesatan, bagi dirinya dosa yang serupa dengan dosa orang-orang yang mengikuti kesesatan itu tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.” (HR Muslim).

Khusus terkait dengan kebaikan, Baginda Rasulullah juga bersabda (yang artinya), “Demi Allah, hidayah Allah yang diberikan kepada seseorang melalui dirimu adalah lebih baik bagi kamu daripada seekor unta merah.” (Mutaffaq ‘alaih).

Unta merah adalah harta yang paling dibanggakan bangsa Arab saat itu; tidak ada yang lebih berharga dari itu (Muhammad ‘Allan, I/336).

Baginda Rasulullah SAW juga bersabda (yang artinya), “Siapa saja yang menunjukki orang lain pada kebaikan, bagi dirinya pahala yang serupa dengan orang yang melakukan kebaikan itu.” (HR Muslim).

Oleh sebagian ulama, hadits-hadits ini dijadikan dalil atas keutamaan berdakwah atau menyampaikan hidayah Islam kepada manusia. Hadits ini juga menunjukkan arti pentingnya mengamalkan atau menyebarluaskan ilmu. Bahkan ilmu yang diamalkan atau disebarluaskan merupakan salah satu amalan yang pahalanya akan terus mengalir kepada pelakunya meski ia telah wafat. Hal ini sebagaimana sabda Baginda Nabi SAW (yang artinya), “Saat anak Adam meninggal, terputus segala (pahala) amalnya, kecuali tiga: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selalu mendoakan dirinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Walhasil, marilah kita berlomba-lomba meretas jalan kebaikan dengan dua cara. Pertama: dengan menyebarluaskan ilmu-ilmu Islam yang kita miliki meski ilmu yang kita miliki baru sedikit. Kedua: dengan berdakwah menyebarluaskan hidayah Islam kepada manusia. Dakwah adalah aktivitas mulia karena merupakan aktivitas para nabi dan rasul Allah SWT. Hanya dengan dakwahlah umat manusia bisa tertunjukki pada hidayah-Nya; pada akidah dan syariah-Nya. Karena itu, marilah kita mendakwahkan Islam walau dengan menyampaikan hanya satu-dua ayat atau satu-dua hadits. Sebab, Baginda Nabi SAW pernah bersabda (yang artinya), “Sampaikanlah dariku walau cuma satu ayat!” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Wama tawfiqi illa billah. [] abi
http://hizbut-tahrir.or.id/2011/05/25/meretas-jalan-kebaikan/


Keutamaan Menikahi Janda Bag. II

Seorang "Muslimah" lebih aku kagumi daripada Bidadari di Surga...Dalam hadis Rasulullah s.a.w. bersabda;
“Setiap anak yang lahir adalah lahir dalam fitrah. Dua ibu-bapaknyalah yang menjadikannya yahudi atau nasrani atau majusi”. (Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a.).

Maksud fitrah di dalam hadis di atas menurut ulama’ ialah Islam. Hadis ini menjelaskan bahwa bayi yang lahir asalnya adalah Islam, cuma dengan pengaruh ibu/bapaknya maka ia berubah mengikut agama ibu/bapaknya. Maka jika ibu/bapaknya memeluk Islam, maka ia otomatik akan kembali kepada fitrahnya (Islam) dengan mengikuti ibu/bapaknya yang memeluk Islam.

Hadis di atas juga menjelaskan pengaruh ibu/bapak ke atas anak. Oleh itu, tidak harus mana-mana individu menyerahkan anaknya untuk diasuh oleh isteri/suaminya yang bukan Islam kerana nanti anaknya itu akan dipengaruhi untuk menganut agama bukan Islam. Ia wajib memelihara masa depan agama anaknya dan kewajipan ini termasuk dalam arahan Allah;

“Wahai orang-orang beriman! Peliharalah diri kamu dan ahli keluarga kamu dari neraka” (at-Tahrim; 6)

Ibnu ‘Abbas (semasa kecilnya) tinggal bersama ibunya (yang Islam) berserta golongan mustadh’afin (yang menganut Islam) dan beliau tidak tinggal bersama bapaknya yang masih menganut agama kaumnya (yakni agama musyrik). Dan beliau (yakni Ibnu ‘Abbas) menegaskan;

“Islam adalah tinggi dan tidak ada yang boleh mengatasi ketinggian Islam”. (Soheh al-Bukhari, kitab al-Janaiz, bab Iza Aslama as-Sobiyyi Fa Ma-ta..).

Imam al-Khattabi menjelas; “Anak yang masih kecil jika ia berada di antara seorang muslim dan seorang bukan Islam , maka yang muslim lebih berhak terhadapnya” (Ibanatul-Ahkam Syarah Bulughul-Maram, jil. 3, kitab al-Hadhonah, hlm. 467).

Menurut jumhur ulama’; hak penjaaan anak (hadhonah) tidak harus diberikan kepada ibu/bapak yang tidak Islam karena hadhonah adalah wilayah (penguasaan) dan Allah tidak membenarkan penguasaan orang tidak Islam ke atas orang beriman (yakni orang beriman tidak harus perjalanan hidupnya dikuasai atau ditentukan oleh orang bukan islam ). Ini sebagaimana firman Allah;

“Allah tidak sekali-kali akan memberi jalan kepada orang-orang bukan Islam untuk membinasakan orang-orang yang beriman. (an-Nisa’; 141).

Ia sama seperti larangan wanita muslim dinikahi lelaki bukan Islam kerana perkawinan tersebut menyebabkan wanita muslim berada di bawah penguasaan orang bukan Islam .

Menyerahkan anak untuk dijaga dan diasuh oleh orang bukan Islam akan menimbulkan kebimbangan terhadap masa depan agama anak tersebut karena ibu atau bapak yang bukan Islam sudah tentu cenderung untuk mendidik anak itu agar mengikut agamanya apabila besar nanti.

KEUTAMAAN MENIKAHI JANDA SYUHADA
Dalam firmannya Alloh berfirman: ”Kalian sungguh sungguh akan diuji terhadap harta dan dirimu. Dan juga kalian sungguh sungguh akan mendengar ejekan yang menyakitkan hati dari orang orang ahli kitab sebelum kalian dan dari orang orang musrik. Jika kalian bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut di utamakan.”[Q.S.3:186]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Artinya : Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya”. [Ath-Thalaaq : 2-3]

Ada tiga golongan yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya (HR. Ahmad 2:251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majjah hadits nomor 2518, dan Hakim 2:160)

Nabi menikahi Zainab binti Khuzaimah (janda syuhada perang Uhud, Ubaidah al-Harits), demikian pula menikahi Ummu Habibah binti Abu Sufyan, Saudah binti Zum’ah janda dari As-Sukran bin Amral Al-Anshari yang menemui syahid keran menjadikan dirinya perisai hidup bagi Rasulullah di medan perang.

“Dan siapa yang menanggung keluarga orang yang sedang berjihad, maka ia telah ikut berjihad” HR Muslim

Beberapa tujuan mulia untuk menikahi Janda terutama janda syuhada adalah:

1. Menjaga Kehormatan
Artinya: Perumpamaan orang-orang mukmin yang saling mencintai dan saling menyayangi serta saling mengasihi adalah bagaikan satu tubuh, apabila sebagian anggota tubuh itu sakit, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan sakit. (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Saw. bersabda, “Orang yang menyantuni janda dan yatim seperti mujahid di jalan Allah.”

تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ


, “Wanita itu dinikahi karena empat hal. Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah agamanya, (kalau tidak) engkau akan celaka.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Rasulullah bersabda,”Siapa saja yang mendanai seorang pejuang untuk berjuang di jalan Allah, sudah melakukan jihad.” (Majma’ al Zawa’id).

Siapa saja dari kalian yang mengurus keluarga dan harta seorang mujahid akan menerima pahala setengah dari pahala berjihad (HR Muslim)

Mereka yang gugur syahid telah berjuang untuk Islam dan umat Islam. Mereka mengorbankan jiwa dan raga untuk saya dan untuk Anda. Itulah sebabnya keluarga para mujahidin gugur harus dilayani dan dihormati. Ketika Ja’far bin Abu Talib gugur dalam perang Mut’ah, Rasulullah saw berkata pada isteri-isterinya,”Siapkan makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka telah menunaikan urusan mereka”, kemudia Rasulullah datang ke rumah Ja’far. (HR Abu Dawud dan al-Tarmidzi).

Imam Ahmad meriwayatkan, ketika Rasulullah saw menerima kabar bahwa Ja’far gugur syahid, Rasulullah datang ke rumah Ja’far dan menyuruh isteri Ja’far agar memanggil anak-anaknya. Ketika anak-anak itu datang ke hadapan Rasulullah, Rasulullah saw memeluk dan mencium anak-anak Ja’far sambil meneteskan air mata. Asma, isteri Ja’far bertanya pada Rasulullah “apakah terjadi sesuatu?” Rasulullah berkata,” Ya, Ja’far gugur hari ini.” Asma berkata, ketika ia mendengar berita itu, ia menangis dan menjerit-jerit. Rasulullah pergi meninggalkannya dan meminta isteri-isterinya agar jangan lupa menyiapkan makanan untuk keluarga Ja’far karena keluarga Ja’far kesusahan karena urusan-urusannya.

Anak-anak para mujahid yang gugur membutuhkan para lelaki untuk menjaga dan mengurus mereka. Para istri mujahid yang gugur harus diberi kesempatan untuk menikah lagi, jika memang menginginkannya.Hal ini kata Awlaki, membutuhkan perubahan pada dua kebiasaan di kalangan umat Islam.

Umat Islam harus mengubah pandangan negatifnya terhadap kaum perempuan yang bercerai dan janda. Stigma negatif terhadap kaum perempuan yang bercerai atau menjadi janda harus dihapus dari komunitas Muslim. Kedua, bersikap lebih toleran dengan isu poligami. Karena ini menjadi kebutuhan, apalagi di saat terjadi peperangan. Pada masa sahabat Rasulullah, tidak ada perempuan yang dibiarkan tanpa suami.

Umar bin Khattab pernah mendengar salah seorang perempuan yang sedang mendendangkan syair-syair kerinduan. Sang Khalifah memperhatikan syair-syair yang didendangkan. Sampai pada akhirnya beliau bertanya kenapa ia menyanyikan lagu-lagu itu?

Ternyata, perempuan tersebut menjawab bahwa suaminya sudah beberapa lama ikut pasukan perang kaum muslimin di medan perang. Dan akhirnya Umar tahu bahwa ia merindukan sang suami yang sudah lama meninggalkannya. Sang Umar cepat-cepat tanggap dengan kondisi perempuan itu.

Ia segera bertanya kepada Aisyah anaknya, bagaimana sebenarnya perasaan seorang perempuan jika lama ditinggal suami? Dan kira-kira berapa batas waktu yang normal untuk ukuran seseorang meninggalkan pasangannya?

Awalnya sang anak malu-malu menjawab, tapi sebagai sosok teladan bagi umat, apalagi Aisyah adalah figur ‘ummahatul mukminin’, perempuan itu akhirnya memberi jawaban. Bahwa waktu empat bulan adalah jarak yang termasuk lama untuk menimbulkan sebuah rasa kerinduan.

Sejak itu, Umar memutuskan, jika memberangkatkan pasukan perang untuk berjihad, maka dalam waktu empat bulan sekali diadakan rukir, atau bergantian dengan tentara yang lain. Semua itu tentu saja untuk menghormati hak pribadi seorang anak manusia.

Demikian pula syariat Allah yang Maha Mulia telah memberikan tuntutannya hakikat menjaga kehormatannya “Arti : Kepada orang-orang yg meng-ilaa’ istri diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kpd istrinya), maka sesungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Baqarah : 226]

Demikian pula seorang janda yang memiliki anak-anak yang belum dewasa (sehingga menjadikan anak-anaknya sebagai mahram), maka hal tersebut lebih utama. Sabda Rasul saw,  “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan safar (bepergian) selama satu hari satu malam yang tidak disertai mahramnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya ia mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Janganlah seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahramnya dan janganlah seorang laki-laki masuk menjumpainya kecuali disertai mahramnya.” Kemudian seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah ! Sungguh aku ingin keluar bersama pasukan ini dan itu sedangkan istriku ingin menunaikan haji.” Maka bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Keluarlah bersama istrimu (menunaikan haji).” (Dikeluarkan hadits ini oleh Muslim dan Ahmad)

Imam Ahmad pernah ditanya : “Apakah anak-anak (laki-laki) bisa dijadikan mahram?” Beliau menjawab : “Tidak, hingga ia mencapai usia baligh karena ia belum dapat mengurus dirinya sendiri maka bagaimana ia dipercaya keluar mengantar seorang wanita. Hal itu karena mahram berfungsi sebagai penjaga bagi wanita tersebut dan ini tidak didapatkan kecuali dari orang yang baligh dan berakal.”

Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi mengomentari pernyataan di atas dengan mengatakan bahwa ucapan yang mengatakan disyaratkannya lelaki yang baligh dan berakal sebagai mahram bagi wanita di dalam safar, alangkah baiknya jika disempurnakan dengan menambahkan syarat berikutnya yaitu memiliki bashirah (ilmu dien), sehingga jadilah syarat itu : Baligh, berakal, dan memiliki bashirah. (Untuk pembahasan lebih lanjut tentang mahram, lihat Salafy Muslimah edisi XIV dalam Rubrik Kajian Kali Ini).

2. Menjaga Aqidah dan Semangat Jihad anak syuhada
musuh musuh Allah dari golongan kafir dan munafiqin senantiasa menganggap hina dan remeh perjuangan mujahidin di seluruh dunia. Merontokkan semangat dan pemahaman ummat akan Syariah dan Jihad, dan memberikan label yang buruk terhadap gelar para mujahid dan syuhada.

syaikh Anwar al Awlaki dalam Risalah Mendukung Mujahidin poin ke 30 mengungkapkan bahwa Meski jihad berhubungan dengan masalah fisik yang menjadi domain kaum pria, kaum perempuan juga perlu menjalankan “kehidupan para mujahidin” seperti yang dijalani suami-suami mereka.

Para istri harus memberikan dukungan bagi suami yang akan pergi berjihad, bersyukur jika sang suami mati syahid dan bersabar jika suaminya menjadi tawanan perang. Seorang perempuan

yang berjihad posisinya sama dengan perempuan dari kaum Ansor. Kaum perempuan itu melihat bagaimana Islam mengambil ayah, saudara lelaki, suami dan anak-anak lelaki mereka, tapi kaum perempuan itu tetap membuka pintu-pintu rumah mereka untuk para mujahidin, mengorbankan harta mereka untuk para mujahidin, karena mereka tahu pahala yang mereka dapatkan dari tindakan mereka.

Anak anak syuhada adalah penerus perjuangan orangtuanya, selayaknyalah aqidah dan semangat jihad (tarbiyah jihadiyyahnya) terjaga. Dimotivasi dalam keseharian dan dididik untuk meraih gelar terbaik dari Robbul semesta ‘alam. Bagaimana khansa binti amr mampu menorehkan sejarah sebagai Ibu para syuhada. “Wahai anak-anakku, bila kalian bangun di esok hari dalam keadaan selamat Insya Allah, maka bersiaplah untuk memerangi musuh-musuh kalian, minta tolonglah kepada Allah dalam menghadapi mereka. Apabila kalian lihat api peperangan telah berkobar dan telah menyala maka bertarunglah dengan gigih supaya kalian mendapat kemenangan dan kemuliaan syurga yang kekal”.

Maka keesokan harinya, dengan berbekal iman, tawakkal dan bersemangat yang keempat putra Khansa’ bersegera maju ke medan laga. Dengan keberanian seorang mujahid fii sabilillah, mereka pantang mundur sedikitpun dalam menghadapi musuh.

Dengan pertolongan Allah Ta’ala, kaum muslimin berhasil memukul mundur tentara Parsi yang berjumlah besar. Namun keempat putra khansa’ semuanya gugur, tatkala menghadapi musuh. Sampailah berita duka itu kepada ibu mukminah yang sabar ini. Namun tidaklah ia meratap dan menyesali diri, sebagaimana dulu dilakukannya sebelum Islam tatkala melepas saudara laki-lakinya yang terbunuh di medan perang. Yang terucap lirih dari lisannya hanyalah perkataan yang menggambarkan betapa kuatnya keyakinan pada Rabbnya dan betapa tabahnya dirinya.

“Segala puji bagi Allah yang telah memuliakan aku dengan syahidnya mereka dan aku harap dari Rabbku agar mengumpulkan aku dengan mereka kelak di tempat rahmat-Nya yang kekal”.

3. Menjaga generasi mulia / generasi mujahid
Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudriy, bahawasanya ia berkata:
“Rasulullah SAW ditanya, siapakah orang yang mulia (utama)? Beliau menjawab, “Seorang laki-laki yang berjihad di jalan Allah.” [HR Bukhari]

Hadis ini dengan sarih (jelas) telah menjelaskan kepada kita, bahawa orang yang berjihad di jalan Allah menduduki tempat yang utama. Kaum salaf al-soleh sangat memuliakan orang-orang yang dimuliakan Allah SWT. Mereka berlumba-lumba untuk memuliakan dan menghormati orang yang berjihad di jalan Allah. Di dalam kitab al-Sair al-Kabiir dituturkan sebuah riwayat dari Mujahid (beliau adalah seorang tabi’in dan termasuk muridnya Ibnu Umar), bahawasanya ia (Mujahid) berkata, “Saya hendak pergi berjihad”. Mendengar ini, Ibnu Umar segera menuntun kudaku!! Aku pun melarang dirinya melakukan hal itu. Namun, ia berkata, “Apakah kamu tidak suka aku mendapatkan pahala? Sungguh, telah sampai berita kepada kami (Ibnu ‘Umar) bahawa orang yang membantu kaum Mujahid, maka kedudukannya diantara penduduk dunia tak ubahnya dengan kedudukan Malaikat Jibril di antara penduduk langit.” [al-Sair al-Kabiir, juz 1/30]


JODOH itu Misterius !!!

Salah satu alasan yang dikatakan remaja kepada saya setiap saya bertanya pada mereka ‘kenapa berpacaran?’, adalah karena takut orang yang mereka taksir itu direbut orang. Karena itu tidak sedikit remaja yang akhirnya berpacaran meski mereka sendiri nggak tahu apakah pacaran itu sekedar ‘cinta monyet’ (istilah saya remaja dulu) atau memang serius untuk menikah. Walau dalam lubuk hati yang paling dalam saya percaya untuk yang terakhir itu nggak mungkin. Mereka kan masih sekolah, lagipula mereka masih lebih seneng main sendiri ketimbang ngurus anak.

Karenanya sangat perlu dan mendesak untuk berbicara pada kamu, teman remaja, soal cara mencintai orang lain dan juga keyakinan tentang jodoh. Sebab, pacaran itu adalah perilaku yang muncul dari pemahaman, selama pemahaman itu nggak diluruskan, sepanjang itu pula budaya pacaran tidak hilang.

Hal pertama yang meski diyakini dengan seyakin-yakinnya adalah kenyataan jodoh itu adalah rezeki. Dan, setiap muslim juga harus beriman bahwa rezeki itu adalah pemberian Allah. Dengan begitu kita juga mesti percaya kalau Allah sudah menetapkan besarnya rizki setiap manusia – bahkan hewan – di atas muka bumi ini. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya seseorang tidak akan mati sampai dipenuhi rizkinya”(HR. Ibnu Majah).

Yuk, kita lihat. Berapa banyak orang yang pacaran bertahun-tahun ternyata berakhir dengan satu kata yang nyelekit : putus! Seorang kawan saya tinggal selangkah lagi menuju pernikahan – karena kekasihnya sudah dilamar dan calon mertuanya sudah ACC – ternyata batal, karena sang pujaan hati memilih ‘jalan’ bareng pria lain (duh tega banget). Ada juga kawan saya yang kenalan, eh dua minggu kemudian tahu-tahu married.

Jodoh itu misterius, sama misteriusnya seperti kekayaan, kesehatan, penyakit dan ajal. Yang harus kita lakukan adalah yakin bahwa Allah pasti sudah memberikan rizkinya pada manusia. Masalah kapan dapatnya, dengan siapa, itu adalah perkara yang gaib.

Maka, saya heran dan bingung melihat banyak remaja yang begitu ‘serius’ pacaran, malah sampai melakukan perbuatan yang jelas-jelas nyerempet pada zina – dan nggak sedikit yang berzina – dengan pacarnya. Padahal pacarnya nggak pernah memberikan komitmen apapun untuk naik ke pelaminan. Kalaupun iya mau ngajak married, buat apa juga nyerempet perbuatan haram.

Ketika saya masih sekolah, ada teman-teman saya yang berbuat seperti itu. Kemana-mana berdua, termasuk berani pacaran di dalam kamar cowoknya, main pangku-pangkuan yang bikin kita jadi malu sendiri kalau melihatnya. Dan ketika kita semua lulus pacaran itupun bubaran, masing-masing menikah dengan gebetannya yang lain.

Jadi jangan takut untuk tidak mendapat jodoh, untuk kemudian kita memilih pacaran. Karena itu jawaban yang sama sekali jauh dari kebaikan. Kan dalam pacaran ada ‘segudang’ aktivitas yang masya Allah bisa bikin Allah marah pada kita. Dalam pacaran ada genggaman tangan (dengan nafsu lagi), ada saling pandang (lagi-lagi dengan nafsu), berkhalwat, belum lagi kalau mereka yang berani ngelakuin pelukan atau istilah saya sekolah dulu KNPI – Kissing, Necking, Petting, Intercourse –, yang kayaknya nggak perlu deh saya terjemahin utuh selain dengan dua kata; mendekati zina!

Percayalah Allah itu Tuhan yang Mahaadil bagi manusia. Belum tentu cowok atau cewek yang kita pengenin saat ini baik buat kita. Nggak sedikit orang yang baru ‘ngeh’ kalau orang yang mereka cintai beberapa tahun yang lalu ternyata tidak baik buat mereka. Ya, cuma Allah yang tahu itu semua. Maka harap bersabar dan banyak berdoa pada Allah supaya kita dikasih pasangan hidup  yang baik segalanya; dunia dan akhirat. Nggak usah deh kita ambil jalan pintas dengan cara pacaran. Juga, jangan lupa memperbanyak amal shaleh. Moga-moga dengan amal saleh itu Allah memudahkan kita untuk mendapatkan jodoh yang saleh/salehah. Amin!


Apa yang dinamakan cinta? Menguburkannya atau Menyuburkannya ?

“Ketika seseorang menguburkan CINTAnya, maka kelak kan tertatih dan letih mencari dimana CINTA tersebut Ia kuburkan, Karena CINTA terkubur tanpa batu NISAN“. (Sang Pujangga Revolusi, Padang – di ujung December 2010)

Apa yang dinamakan cinta dan bagaimana menyuburkannya?

Ada seorang ulama besar, bernama Ibn Hazm, yang wafat tahun 456H. Beliau diminta oleh temannya untuk menulis tentang cinta; makna, sebab dan tujuannya. Maka ditulisnya sebuah karangan berjudul “Thauq al Hamamah” (kalung merpati) yang menggambarkan pengalaman pribadinya dan pengalaman orang lain dalam memahami cinta.Ibn Hazm menulis:  “Cinta awalnya permainan dan akhirnya kesungguhan. Ia tidak dapat dilukiskan tetapi harus dialami agar diketahui. Agama tidak menolaknya dan syariat pun tidak melarangnya, karena hati di tangan Rabb, Dia yang membolak-balikannya”Tidak sedikit pakar yang sejalan pandangannya dengan ulama ini ketika ia berkata bahwa “cinta tidak dapat dilukiskan tetapi harus dialami”.

Bagi mereka cinta bukan untuk direnungkan. Memang pandangan ini tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar. Tidak sedikit orang yang melukiskan cinta sebagai sesuatu yang puitis: cinta adalah segalanya; cinta adalah kicauan burung dari kilatan mata; cinta bagaikan cermin, jika engkau mencintai orang lain maka engkau menjadi cerminnya dan dia menjadi cerminmu; dan masih banyak ungkapan lain.Ungkapan-ungkapan semacam ini, walaupun indah terdengar, namun ia sangat abstrak dan tidak banyak menolong. Dalam literatur agama ditemukan penjelasan tentang cinta, antara lain bahwa cinta adalah kecenderungan hati kepada sesuatu. Kecenderungan ini boleh jadi disebabkan lezatnya yang dicintai, atau karena manfaat yang diperoleh darinya.

Cinta sejati antar manusia terjalin bila ada sifat-sifat pada yang dicintai, yang terasa oleh yang mencintai sesuai dengan sifat yang didambakannya. Rasa inilah yang menjalin pertemuan antara kedua pihak, dalam saat yang sama dicintai dan mencintai.Semakin banyak dan kuat sifat-sifat yang dimaksud dan semakin terasa oleh masing-masing pihak, semakin kuat dan dalam pula jalinan cinta mereka. Demikian kurang lebih uraian ulama besar Ibn Qayyim al Jauziah yang hidup pada pertengahan abad ke 8 H (691-751 H atau 1292-1350 M) dalam bukunya “Raudhat al Muhibbin wa Nuzhat al Muzytaqìn” (Taman Para Pencinta dan Tetirah Para Kekasih). Ingatlah, terjalinnya cinta tidak cukup dengan menghadirkan sifat yang disenangi kekasih pada diri seseorang, tetapi keberadaannya itu harus disadari dan dirasakannya.

Boleh jadi seseorang sangat cantik atau gagah.Boleh jadi juga sangat baik dan jujur. Tetapi, bila itu tidak disadari dan dirasakan, maka keistimewaan ini tidak mengundang cinta.Karena itu jadikanlah pasanganmu merasakan sifat dan sikap yang kita tahu dapat menyenangkannya.  Jangan sampai ia merasakan dari diri kita sesuatu yang tidak disenanginya.Namun ada yang harus digaris bawahi dari semua itu yaitu kita melakukannya dengan “tetap menjadi diri kita sendiri”. Cinta itu bermacam-macam, baik dalam bentuk dan ragamnya maupun dalam kekuatan dan kelemahannya.Ada yang tertancap di dalam sanubari dan ada juga yang hanya bertengger di permukaan hati.Kemudian ada yang bagaikan pohon, akarnya terhunjam ke bawah dan di pucuknya banyak buah namun ada juga yang seumur mawar, sekejap saja kemudian layu. Cinta, tulisan sementara pakar adalah “dialog dan pertemuan antara dua aku; ia adalah hubungan timbal balik yang menuntut tanggung jawab kedua aku itu”.

Seorang ibu yang mencintai anaknya tidak akan memaksakan agar kecintaannya itu sama dengan dirinya atau kelanjutan dari kepribadiannya.Karena jika demikian, yang ada hanya satu “aku”.  Jika benar ia mencintainya, maka ia akan membantu agar anaknya pun memiliki kepribadiannya sendiri sesuai dengan kecenderungan dan potensinya. Dengan demikian sang anak memiliki “aku”nya sendiri, sehingga dapat mencintai dan dicintai. Cinta menuntut pengakuan eksistensi, bahkan pengakuan kepribadian seorang kekasih. Sungguh banyak hambatan bagi suburnya cinta.Salah satu di antaranya adalah cemburu yang berlebihan. Cemburu adalah manusiawi.Istri Rasulullah; Aisyah ra, menyatakan bahwa beliau sering cemburu, bahkan Nabi SAW pun pencemburu.

Dari Abi Hurairah ra;Ketika sahabat-sahabat beliau membicarakan sifat Sa’id bin Muadz yang dikenal amat pencemburu, beliau berkomentar:Sesungguhnya dia pencemburu, dan aku lebih pencemburu daripada dia (HR Muslim). Cemburu ada dua macam, yaitu yang tanpa dasar dan yang berdasar,

Yang pertama menguburkan cinta dan yang kedua menyuburkannya.

Imam al Ghazali berpesan:  “Jangan biarkan kekeliruan tanpa teguran, namun jangan pula berburuk sangka, kaku dan mencari tahu yang tidak-tidak.”Entah yang mana yang lebih besar kecemburuannya, lelaki atau perempuan. Namun yang jelas istri lebih berpotensi untuk cemburu ketimbang suami, karena agama dan budaya manusia telah menutup pintu serapat-rapatnya bagi mereka untuk memiliki pasangan ganda. Dan hal ini berbeda dengan suami, karena walaupun pintu poligami tidak terbuka namun masih ada celah yang dapat mengantarkannya kesana. Pencemburu sering kali tidak mengetahui dimana kakinya berpijak, sehingga keseimbangannya amat terganggu.Karena itu jika kita datang terlambat, dan terdengar gerutu atau makian, janganlah menganggapnya marah dan jangan pula di sambut dengan kemarahan, sebab gerutu itu adalah cinta yang di ekspresikan secara keliru akibat gangguan keseimbangan.

Ada pesan dari seorang bijak, katanya: “Jika pasanganmu marah, nyatakan cintamu dengan rayuan“.Ketahuilah, bahwa salah satu cara menyuburkan cinta adalah memperdengarkan kalimat indah ke telinga kekasih.  Agama menganjurkan yang demikian, sampai-sampai Nabi SAW berpesan bahwa bukan suatu dosa “kalimat gombal” yang di bisikkan pasangan ke telinga pasangannya.Jelasnya beliau bersabda:Kebohongan semuanya merupakan dosa atas manusia kecuali dalam tiga hal;Seorang yang “gombal” pada pasangannya untuk menyenangkannya, kebohongan dalam peperangan (karena peperangan adalah tipu daya) dan kebohongan antara dua orang Muslim untuk melakukan “ishlah” antar mereka. (HR Tirmidzi)